My Inspirations

My Inspirations

17 Agu 2013

Aku dan Pendidikanku



Pendidikan adalah tonggak setiap manusia untuk menentukan kemana langkah selanjutnya diambil, pendidikan juga mempengaruhi suatu  negara untuk maju dan bersaing dengan negara yang lain. Seharusnya kita bangga dengan kekayaan alam yang melimpah di negara kita dan tidak dipunyai oleh negara yang lain. Karena negara kita negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman alam yang berbeda beda, namun dengan pendidikan yang belum memadai seperti negara lain kita tidak bisa mengembangkan atau mengolah sumber daya alam yang melimpah tersebut
Pendidikan menjadi faktor utama suatu negara bisa berkembang atau maju, bila pendidikan rendah itu membuat masyarakat menjadi bodoh dan miskin. Itulah yang terjadi di negara kita, dengan tingkat kesadaran pendidikan yang rendah membuat negara ini susah untuk maju, semua itu memang didasari dengan banyak faktor, misalnya biaya, sarana pendidikan, tenaga pengajar, lokasi dll
Sebagai contoh pendidikan kurang di Indonesia itu adalah banyaknya anak sekolah yang belum mendapatkan pendidikan yang layak. ­­­­­­­­Dan banyaknya anak yang buta huruf, ini yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk memberikan rakyatnya pendidikan yang layak dan murah. Pendidikan yang terjadi di Indonesia termasuk mahal karena banyak masyarakat hanya bisa menyekolahkan anaknya paling tinggi setingkat SMA. Bahkan di daerah pedalaman setingkat SMP saja sudah bagus. Itu yang membuat negara kita menjadi kurang maju, disebabkan sumber daya manusianya belum memiliki pendidikan yang bisa bersaing dengan negara lain.
Untuk menciptakan pendidikan seperti di negara yang maju masih perlu waktu yang panjang dan perlu penanganan yang serius dari pemerintah. Bagaimana menciptakan pendidikan bagus kalau pemerintahnya sendiri tidak memberikan sarana dan pendukung yang memadai dan dijadikan tempat untuk korupsi.
Menurut survey sarana pendidikan sekarang ini dijadikan tempat untuk berkorupsi yang besar bagi para guru atau pengelolanya. Dan masyarakat banyak yang mengalami keresahan dan kekecewaan atas pendidikan anaknya. Sarana bantuan dari pemerintah tidak sampai kepada masyarakat dan entah kemana sosialisasinya. Dan sekarang ini banyak guru yang mengalami peningkatan ekonomi secara signifikan sebagai contoh gambaran secara kasar setiap guru SD sekarang rata rata memiliki kendaraan roda 4. Orang tua juga mengeluhkan adanya biaya biaya tambahan yang setiap minggunya di gunakan untuk pendidikan, seperti pengadaan buku, seragam, kegiatan dll. Dengan tingkat ekonomi masyarakat yang belum stabil itu sangat memberatkan para orangtua. Dan pada akhirnya anaknya tidak bisa melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi. Itu membuat SDM yang tercipta menjadi rendah.
Bila negara kita mempunyai SDM yang berkualitas, disiplin dan pendidikan yang bermutu pasti Indonesia tidak akan kalah dengan negara lain seperti jepang, korea, singapura dll. Memang diakui sarana pendidikan mulai di berikan dengan baik tetapi sekali lagi biaya yang menjadi kendalanya.
Sekarang sudah terjadi pengelompokan pendidikan, bila orang tua kaya maka pendidikan anaknya akan tinggi bahkan sampai sekolah diluarnegeri, tetapi untuk yang kurang mampu tidak ada bantuan pemerintah dalam menyikapi fenomena tersebut. Pemerintah masih bingung dalam mengatasi korupsi yang menjamur di negara ini
Kita kadang miris melihat banyak anak anak yang di daerah pedalaman hanya ingin bersekolah harus berjalan kaki sejauh 30 kilo meter, dan itu harus melalui sungai. Pendidikan didaerah pedalaman sangat kurang sekali, lagi lagi peran pemerintah yang segera membuat anak pedalaman tidak bedanya dengan anak kota yang bisa memiliki sarana pendidikan yang layak.
Karena banyak lahir potensi yang cemerlang terlahir dari anak pedalaman yang bisa mengharumkan bangsa, Itulah permasalah pendidikan yang terjadi di negara kita, sebagai anak bangsa kita harus bersemangat dan terus berjuang untuk mendapatkan ilmu semaksimal mungkin, karena dengan ilmu hidup kita akan terjamin. Pendidikan itu sangat penting sekali dalam kehidupan manusia, dengan pendidikan yang bagus kita bisa mengarahkan kemana langkah kita untuk maju. Bila masyarakat maju maka negara juga ikut maju, untuk itu walaupun sarana pendidikan masih berbeda dengan negara lain kita harus bangga dan terus berjuang supaya menjadi anak bangsa yang tangguh.



Pemerataan pendidikan
Dalam suatu wilayah negara dapat dibagi menjadi dua wilayah berdasarkan keberadaan sarana, prasarana, kualitas pendidikan dan juga tingkat ekonomi yang ada di wilayah tersebut. Dua wilayah tersebut biasa disebut Perkotaan dan Pedesaan. Dari segi pendidikan Wilayah Perkotaan umumnya lebih maju ketimbang wilayah Pedesaan. Perbedaan pendidikan ini bukan hanya terletak pada materi pembelajarannya, melainkan juga teknik operasional pendidikan yang menjadi alat untuk menunjang pendidikan seperti bangunan, fasilitas belajar mengajar, SDM pengelolah sekolah yang cenderung terlihat bahwa sekolah pedesaan masih tertinggal jauh dibandingkan sekolah di wilayah perkotaan.

Pendidikan di Indonesia memang masih kurang merata. Banyak daerah di Indonesia yang masih belum mendapat pendidikan yang memadai. Selain itu masyarakat Indonesia yang kurang mampu juga belum bisa mendapat pendidikan dengan mudah. Pendidikan hanya dirasakan oleh masyarakat yang mampu dan berada di kota-kota besar. Ini tentu saja bertentangan dengan yang diamanatkan dalam UUD 1945 yaitu Pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia.

Untuk itu, agenda penting yang harus menjadi prioritas adalah peningkatan pemerataan pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin dan masyarakat terpencil yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk Indonesia.

Diantara beberpa solusi yang kami tawarkan untuk pemerataan pendidikan tersebut adalah:
  1. Dinas pendidikan harus mengontrol sekolah di desa dan di kota. Pihak berwenang harus terjun kelapangan untuk melihat keadaan kongkrit pendidikan tersebut baik dari segi fasilitas, sarana dan prasarana, metode belajar mengajar agar tidak terjadi kesenjangan antara sekolah di desa dan di kota.
  2. Setelah mengentrol pendidikan di desa dan di kota Pemerintah mengambil tindakan cepat untuk mengatur pemerataan kualitas pendidikan, mulai tenaga guru, fasilitas, yang dengan sendirinya akan menciptakan kesetaraan pendidikan antarsekolah di suatu wilayah.
  3. Seharusnya guru-guru berkualitas disebar ke sekolah-sekolah, termasuk sekolah yang kualitasnya kurang, agar mereka bisa memacu rekan-rekannya sesama guru untuk meningkatkan kompetensinya.
  4. Pemerintah juga seharusnya memberikan tunjangan insentif bagi guru yang mengajar di desa terpencil. Dan bagi guru yang tidak ingin mengajar dipedesaan seharusnya diberi hukaman atau peringatan.
  5. Pemerintah seharusnya memberikan beasiswa bagi siswa-siswi yang kurang mampu. Baik itu di tingkat SD, SMP, SMA bahkan perguruan tinggi. Bagi mahasiwa penerima beasiswa diharuskan mengabdi di desa masing-masing untuk meningkatkan pendidikan di desa.
Apabila sudah ada pemerataan seperti itu, sekolah-sekolah yang kualitasnya kurang dengan sendirinya akan mampu meningkatkan kualitasnya, sekaligus mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas dan kompeten.



Indosiar.com, Jakarta, Homeschooling (Sekolah Rumah) saat ini mulai menjadi salah satu model pilihan orang tua dalam mengarahkan anak-anaknya dalam bidang pendidikan. Pilihan ini muncul karena adanya pandangan para orang tua tentang kesesuaian minat oleh anak-anaknya. Homeschooling ini banyak dilakukan di kota-kota besar, terutama oleh mereka yang pernah melakukannya ketika berada di luar negeri.
Di Indonesia keberadaan homeschooling sudah mulai menjamur di Jakarta dan kota besar lainnya. Untuk tahap pertama, keberadaan proses belajar dan mengajar model rumahan ini belum menuai minat dari khalayak umum.

Namun kini, keberadaannya justru banyak dimanfaatkan kalangan menengah keatas, seperti artis, dan kalangan entertainer. Tak jarang didapati diantaranya kalangan olahragawan, atlit nasional juga kalangan biasa yang menginginkan rumah sebagai ruang kelas.
"Saya ingin anak saya tidak tertinggal pelajaran karena aktifitas modelnya. Konsentrasi untuk belajar dan menimba ilmu tetap saya prioritaskan kepada Ayu," ujar Tini, orang tua dari Ayu, murid SMU di homeschooling milik Seto Mulyadi ketika dihubungi.

Jadwal luar sekolahnya yang lebih panjang serta konsentrasi belajar sempat membuatnya khawatir. Untuk mengatur jadwal Ayu yang berprofesi sebagai model, sulit disesuaikan dengan jadwal sekolah pada umumnya, hingga sempat membuatnya tertinggal satu smester.
Sementara, pilihan homeschooling merupakan keinginan belajar dari Ivan, murid SMU di tempat sama. "Dia memang inginnya di rumah, kebetulan keinginan orang tua juga, supaya Iwan bisa kita kontrol," ujar Ike sang bunda.


Model Pengembangan Sistem Pendidikan
Homeschooling (Sekolah rumah), menurut Direktur Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Ella Yulaelawati, adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua atau keluarga dan proses belajar mengajar pun berlangsung dalam suasana yang kondusif.
Tujuannya, agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal. Rumusan yang sama juga dipegang oleh lembaga-lembaga pendidik lain yang mulai menggiatkan sarana penyediaan program homeschooling.
Ada beberapa alasan mengapa para orang tua di Indonesia lebih memilih sekolah rumah. Kecendrungannya antara lain, bisa menekankan kepada pendidikan moral atau keagamaan, memperluas lingkungan sosial dan tentunya suasana belajar yang lebih baik, selain memberikan pembelajaran langsung yang konstekstual, tematik, nonskolastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu.
Menurut Ela Yuliawati, pandangan ini memberikan pengertian luas kepada setiap orang untuk lebih mengekspresikan keinginan dan kemampuan dalam menimba ilmu, tidak hanya di lingkungan yang dinamakan sekolah. Bahkan kesempatan mendapatkan ilmu yang lebih juga memiliki peluang besar sejalan dengan perkembangan pendidikan.
Hal ini yang kemudian membuat homeschooling dipilih sebagai salah alternatif proses belajar mengajar dalam perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Hingga kemudian model homeschooling (Sekolah Rumah) dimasukan dalam revisi UU pendidikan no 20 tahun 2003.


Penerapan Homeschooling
Menurut Seto Mulyadi, Ketua Komnas Anak, kemunculan homeschooling sebagai salah satu alternatif memang perlu dibuktikan keberhasilannya sebagai sebuah kompetisi proses menimba melalui sistem non formal.
Secara etimologis, home schooling (HS) adalah sekolah yang diadakan di rumah. Meski disebut home schoooling, tidak berarti anak akan terus menerus belajar di rumah, tetapi anak-anak bisa belajar di mana saja dan kapan saja asal situasi dan kondisinya benar-benar nyaman dan menyenangkan seperti layaknya berada dirumah.  Keunggulan secara individual inilah yang memberi makna bagi terintegrasinya mata pelajaran kepada peserta didik.
Seto mengatakan, perlunya dukungan penuh dari orang tua untuk belajar, menciptakan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan, dan memelihara minat dan antusias belajar anak. Karena dibalik kemudahan, Sekolah rumah juga memerlukan kesabaran orangtua, kerja sama antaranggota keluarga, dan konsisten dalam penanaman kebiasaan.
Seto menampik sejumlah mitos yang dinilainya keliru tentang homeschooling selama ini. Misalnya, anak kurang bersosialisasi, orang tua tidak bisa menjadi guru, orang tua harus tahu segalanya, orang tua harus meluangkan waktu 8 jam sehari, waktu belajar tidak sebanyak waktu belajar sekolah formal, anak tidak terbiasa disiplin dan seenaknya sendiri, tidak bisa mendapatkan ijazah dan pindah jalur ke sekolah formal, tidak mampu berkompetisi, dan homeschooling mahal. "Itu keliru," ucapnya.
Ada beberapa klasifikasi format homeschooling, yaitu:
1. Homeschooling tunggal
Dilaksanakan oleh orangtua dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan lainnya karena hal tertentu atau karena lokasi yang berjauhan.
2. Homeschooling majemuk
Dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orangtua masing-masing. Alasannya: terdapat kebutuhan-kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh beberapa keluarga untuk melakukan kegiatan bersama. Contohnya kurikulum dari Konsorsium, kegiatan olahraga (misalnya keluarga atlit tennis), keahlian musik/seni, kegiatan sosial dan kegiatan agama
3. Komunitas homeschooling
Gabungan beberapa homeschooling majemuk yang menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok (olah raga, musik/seni dan bahasa), sarana/prasarana dan jadwal pembelajaran. Komitmen penyelenggaraan pembelajaran antara orang tua dan komunitasnya kurang lebih 50:50.
Alasan memilih komunitas homeschooling antara lain:
- Terstruktur dan lebih lengkap untuk pendidikan akademik, pembangunan akhlak mulia dan pencapaian hasil belajar
- Tersedia fasilitas pembelajaran yang lebih baik misalnya: bengkel kerja, laboratorium alam, perpustakaan, laboratorium IPA/Bahasa, auditorium, fasilitas olah raga dan kesenian
- Ruang gerak sosialisasi peserta didik lebih luas tetapi dapat dikendalikan
- Dukungan lebih besar karena masing-masing bertanggung jawab untuk saling mengajar sesuai keahlian masing-masing
- Sesuai untuk anak usia di atas 10 tahun
- Menggabungkan keluarga tinggal berjauhan melalui internet dan alat informasi lainnya untuk tolak banding (benchmarking) termasuk untuk standardisasi

Tantangan homeschooling
Dalam perkembangannya, homeschooling juga menghadapi beberapa tantangan, yaitu:
1. Homeschooling tunggal
- Sulitnya memperoleh dukungan/tempat bertanya, berbagi dan berbanding keberhasilan
- Kurang tempat sosialisasi untuk mengekspresikan diri sebagai syarat pendewasaan
- Orang tua harus melakukan penilaian hasil pendidikan dan mengusahakan penyetaraannya
2. Homeschooling majemuk
- Perlu kompromi dan fleksibilitas jadwal, suasana, fasilitas dan kegiatan tertentu
- Perlu ahli dalam bidang tertentu walaupun “kehadiran” orang tua harus tetap ada
- Anak-anak dengan keahlian/kegiatan khusus harus menyesuaikan/menerima lingkungan lainnya dengan dan menerima “perbedaan-perbedaan” lainnya sebagai proses pembentukan jati diri
- Orang tua masing-masing penyelenggara homeschooling harus menyelenggarakan sendiri penyetaraannya
3. Komunitas homeschooling
- Perlunya kompromi dan fleksibilitas jadwal, suasana, fasilitas dan kegiatan tertentu yang dapat dilaksanakan bersama-sama
- Perlunya pengawasan yang professional sehingga diperlukan keahlian dalam bidang tertentu walaupun “kehadiran” orang tua harus tetap ada
- Anak-anak dengan keahlian atau kegiatan khusus harus juga bisa menyesuaikan dengan lingkungan lainnya dan menerima “perbedaan-perbedaan” lainnya sebagai proses pembentukan jati diri.

Kekuatan homeschooling
Sebagai sebuah pendidikan alternatif, homeschooling juga mempunyai beberapa kekuatan dan kelemahan. Kekuatan/kelebihan homeschooling adalah:
- Lebih memberikan kemandirian dan kreativitas individual bukan pembelajaran secara klasikal
- Memberikan peluang untuk mencapai kompetensi individual semaksimal mungkin sehingga tidak selalu harus terbatasi untuk membandingkan dengan kemampuan tertinggi, rata-rata atau bahkan terendah
- Terlindungi dari “tawuran”, kenakalan, NAPZA, pergaulan yang menyimpang, konsumerisme dan jajan makanan yang malnutrisi
- Lebih bergaul dengan orang dewasa sebagai panutan
- Lebih disiapkan untuk kehidupan nyata
- Lebih didorong untuk melakukan kegiatan keagamaan, rekreasi/olahraga keluarga
- Membantu anak lebih berkembang, memahami dirinya dan perannya dalam dunia nyata disertai kebebasan berpendapat, menolak atau menyepakati nilai-nlai tertentu tanpa harus merasa takut untuk mendapat celaan dari teman atau nilai kurang
- Membelajarkan anak-anak dengan berbagai situasi, kondisi dan lingkungan sosial
- Masih memberikan peluang berinteraksi dengan teman sebaya di luar jam belajarnya
Sedangkan kelemahan homeschooling adalah:
- Anak-anak yang belajar di homeschooling kurang berinteraksi dengan teman sebaya dari berbagai status sosial yang dapat memberikan pengalaman berharga untuk belajar hidup di masyarakat
- Sekolah merupakan tempat belajar yang khas yang dapat melatih anak untuk bersaing dan mencapai keberhasilan setinggi-tingginya
- Homeschooling dapat mengisolasi peserta didik dari kenyataan-kenyataan yang kurang menyenangkan sehingga dapat berpengaruh pada perkembangan individu
- Apabila anak hanya belajar di homeschooling, kemungkinan ia akan terisolasi dari lingkungan sosial yang kurang menyenangkan sehingga ia akan kurang siap untuk menghadapi berbagai kesalahan atau ketidakpastian

Prasyarat keberhasilan homeschooling
Agar homeschooling dapat dilaksanakan dengan baik dan anak dapat merasa nyaman dalam belajar, maka ada beberapa prasyarat keberhasilan dalam menyelenggarakan homeschooling, yaitu:
- Kemauan dan tekad yang bulat
- Disiplin belajar-pembelajaran yang dipegang teguh
- Ketersediaan waktu yang cukup
- Keluwesan dalam pendekatan pembelajaran
- Kemampuan orang tua mengelola kegiatan
- Ketersediaan sumber belajar
- Dipenuhinya standar yang ditentukan
- Ditegakkannya ketentuan hukum
- Diselenggarakannya program sosialisasi agar anak-anak tidak terasing dari lingkungan masyarakat dan teman sebaya
- Dijalinnya kerjasama dengan lembaga pendidikan formal dan nonformal setempat sesuai dengan prinsip keterbukaan dan multimakna
- Terjalin komunikasi yang baik antar penyelenggara homeschooling
- Tersedianya perangkat penilaian belajar yang inovatif (misalnya dalam bentuk portofolio dan kolokium)

Orang Tua, Guru Juga Teman
Lalu, apa yang yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam menyelenggarakan sekolah rumah? Seto mengatakan, orang tua harus menjadikan anak sebagai teman belajar dan menempatkan diri sebagai fasilitator. ""Orang tua harus memahami bahwa anak bukan orang dewasa mini," tuturnya.
"Anak," kata Seto, "Perlu bermain. Itu yang perlu dipahami oleh orang tua. Karena itu pula, orang tua tidak boleh arogan dengan menempatkan diri sebagai guru, tapi belajar bersama. Kalau tidak siap dengan itu, menurut Seto, lebih baik jangan menyelenggarakan sekolah rumah."
"Orang tua, tetap perlu terus menambah pengetahuan. Tidak mesti menguasai semua jenis ilmu, yang penting, memiliki pemahaman tentang anak. Bila orang tua kurang mengerti pelajaran biologi atau matematika, misalnya, orang tua bisa mendatangkan guru untuk pelajaran tersebut dan belajar bersama anak. Dengan demikian, anak akan merasa tidak lebih rendah, tapi sebagai sahabat dalam belajar," ungkap Kak Seto menambahkan.
Bagaimana dengan kedua orang tua yang bekerja sehingga merasa tidak punya waktu untuk memberikan pembelajaran kepada anak dalam menyelenggarakan homeschooling? Seto mengatakan, "itu tidak boleh menjadi alasan."
"Sesibuk apa pun orang tua, tetap harus punya waktu untuk anak. Kalau tidak punya waktu, jangan punya anak," ucap psikolog yang juga menyelenggarakan homeschooling bagi anak sulungnya itu.
Pembelajaran sekolah rumah sebaiknya menyesuaikan dengan standar kompetensi yang telah ditentukan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Ini agar sejalan dengan pertumbuhan dan kemampuan anak, di samping dapat diikutkan dalam evaluasi dan ujian yang diselenggarakan secara nasional.
Standar kompetensi menjadi panduan yang harus dimiliki seorang anak pada kelas tertentu. Anak kelas VI SD atau setara, misalnya, minimal sudah harus menguasai pelajaran matematika sampai batas tertentu pula. "Standar kompetensi ini," kata Seto, "Dapat diperoleh di Dinas Pendidikan yang ada di daerah masing-masing."
Evaluasi bagi anak yang mengikuti homeschooling dapat dilakukan dengan mengikutkan pada ujian Paket A yang setara dengan SD atau Paket B setara SMP. "Pada dasarnya," kata Seto, "Evaluasi tersebut dapat pula dilakukan dengan menginduk ke sekolah formal yang ada." Menurutnya, seharusnya ini bisa dilakukan karena sekolah rumah bukan sekolah liar. Kiranya para orang tua harus berkaca diri dulu sebelum menyelenggarakan sekolah rumah bagi sang buah hati. (Her/rev)



TEMPO.CO , Jakarta: Kasus kecurangan dan kelalaian penyelenggaraan Ujian Negara masih marak terjadi di Jakarta. "Laporannya banyak sekali yang masuk ke kami dari Jakarta," kata Sekretaris Jenderal Forum Serikat Guru Indonesia, Retno Listyarti, Selasa, 16 April 2013. 

Ia mengaku belum merekap aduan saking banyaknya yang memberikan laporan. "Jumlahnya gelondongan (banyak), baru kami rekap usai UN berakhir," ujarnya. 


di Jakarta, Modus kelalian yang masih banyak terjadi adalah tertukarnya soal ujian dan keterlambatan soal ujian serta kecurangan seperti membantu siswa mengerjakan dan membocorkan kunci jawaban. Modus kelalaian FSGI dalam konferensi pers. Modusnya antara lain keterlambatan soal, kekurangan soal, soal yang tertukar, dan rendahnya kualitas lembar jawaban UN. "Kertas tipis dan mudah sobek, ada kasus sampai bolong kertas," ujarnya.

Keluhan semacam ini diungkapkan seorang siswa SMA Negeri 13 Jakarta. Ia mengeluh kertas lembar jawaban Ujian Nasional mudah sobek. "Lembar jawaban terlalu tipis, kalau dihapus langsung ilang si ABCD," ujar Anita Laksana (18 th) siswa kelas XII IPS SMAN 13 Jakarta Utara. Kepala Sekolah SMA Dharma Putra Tanjung Priok Jakarta Utara mengaku menemukan sejulah soal yang cacat.  

Tak hanya kelalaian, FSGI menemukan kecurangan pengerjaan soal UN di sejumlah daerah. "Beredarnya kunci jawaban masih terus terjadi," kata dia. Menurut Retno, kunci jawaban diperoleh dengan membeli patungan seharga Rp 100 ribu – Rp 250 ribu. "Satu paket kunci jawaban Rp 8 juta," ujarnya.

Kecurangan lain adalah kunci jawaban yang diedarkan sekolah sesaat sebelum UN berlangsung atau sekolah membetulkan jawaban yang dikerjakan siswa. Lembar jawaban baru diantar pukul 15.00 WIB, telat dua jam dari waktu penyerahan. "Ini disepakati untuk memberi waktu membetulkan jawaban siswa," ujarnya.

FSGI meminta penyelenggaraan UN dihentikan tahun ini. "Biayanya tinggi, tapi kualitas pendidikan tak mampu diukur," ujarnya.  Apalagi, kelalaian penyelenggaraan tahun ini kacau balau, sehingga merugikan aspek psikologis pelaku UN. "Jutaan peserta UN stres berat." 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar