My Inspirations

My Inspirations

17 Agu 2013

UN


KBRN, Jakarta : Upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan Ujian Nasional (UN) agar benar-benar berjalan sesuai dengan harapan masyarakat, baik dari segi prestasi maupun dari segi penyelenggaraan,  ternyata tidak mudah seperti membalik telapak tangan.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang sebelumnya menjamin pelaksanaan UN berjalan lancar, ternyata diluar dugaan, UN tahun ini  tidak dapat berlangsung secara serentak di seluruh wilayah Indonesia.
Tidak kurang  ada 11 provinsi  yang harus menunda pelaksanaan Ujian Nasional karena  soal yang dijadikan materi ujian  belum dapat didistribusikan, akibat belum  tercetak sampai batas waktu yang ditentukan.
11 Provinsi tersebut masing-masing Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulteng, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Gorontalo, NTT, NTB dan Bali.
Dengan demikian, para siswa  SMA/MA maupun SMK  di sebelas provinsi  itu baru dapat melaksanakan ujian pada  tanggal 18 sampai dengan 23 April 2013.
Ditundanya pelaksanaan  Ujian Nasional di sejumlah daerah ini merupakan masalah baru  yang sebelumnya jarang ditemukan, sebab selama ini  yang menjadi persoalan adalah  angka kelulusan  yang rendah di daerah-daerah tertentu dan kebocoran soal ujian, dan masalah-masalah kecurangan lainnya.
Masalah kebocoran soal dan kecurangan nampaknya dapat diatasi dengan adanya barcode  dengan  soal bervariasi  dengan 20 paket soal yang berbeda, setidaknya dapat memperkecil peluang siswa untuk mendapatkan bocoran soal.
Tapi masalah keterlambatan  percetakan soal nampaknya menjadi persoalan yang sulit dimengerti  dan membuat sejumlah praktisi pendidikan anggota dewan angkat bicara, sebab seharusnya  ini tidak perlu terjadi jika Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan  Kebudayaan bekerja secara profesional.
Pertanyaannya mengapa  ini terjadi ?. Salah satu penyebab terlambatnya  percetakan soal ujian  karena pihak percetakan PT. Graha Printing Indonesia kewalahan  karena banyaknya dan kompleksnya  materi  yang harus dikerjakan,  sementara waktunya agak terbatas.
Padahal idelanya soal sudah harus  siap  minimal H-3, tapi yang terjadi sampai hari H, 15 April  di 11 Provinsi belum menerimanya.
Mepetnya waktu tentu berbanding lurus dengan  kesepakatan tender yang mungkin juga mengalami keterlambatan karena ada indikasi Kementerian  Pendidikan dan Kebudayaan justru memenangkan  perusahaan  yang penawarannya lebih tinggi yakni  PT.Graha Printing dengan penawaran Rp 22,5 milyar sementara  perusahaan lainnya PT Aneka Ilmu  sebasar Rp 17.1 milyar, PT Jasuindo Tigaperkasa menawarkan Rp 21,2  milyar dan PT Dedikasi Prima Rp 21,6 milyar.
Jika memang benar persoalannya akibat keterlambatan tender, tentu ini sangat disayangkan, sebab masih saja terjadi  adanya permainan yang tidak bersih  dan malah amburadul karena tidak kreidibelnya  perusahaan  yang  dimenangkan.
Oleh kerena itu, sudah seharusnya  perusahaan  dan oknum – Kementerian Pendididkan yang terkait  mendapat sangsi yang tegas dan berat  jangan hanya cukup meminta maaf  agar hal ini menjadi pelajaran.
Apalagi jika memang benar-ada unsur korupsi, sudah barang tentu harus diproses secara hukum sebab kejadian ini tentu saja sudah merugikan banyak orang, baik secara materil maupun psikologis siswa dan akhirnya  berujung pada kualitas Ujian Nasionmal itu sendiri. (YP/DS/AKS)  
  
20 paket saja sudah menyulitkan peserta UN sudah pasti berbeda di tambah lagi dengan tingkat kesulitan soal menjadi 20%. kasihan siswa-siswa yang sekolah di pedesaan terpencil atau sekolahan" lain. karna guru masing" sekolah saja mengajar dengan cara yang berbeda-beda. seperti negeri dengan swasta. kalau UN ada yang tertunda seperti ini pasti ada kecurangan untuk pelaksanaan ujian nasional susulan. karna bisa saja mereka sudah mendapatkan soal dari provinsi lain. saya rasa ini tidak adil.

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=4520429021878&set=o.334199473332819&type=1


Pertahankan Ujian Nasional
Ahmad Muchlis ;  Dosen Matematika FMIPA Institut Teknologi Bandung
MEDIA INDONESIA, 06 Mei 2013
Desakan untuk menghapuskan ujian nasional (UN), atau setidaknya mengevaluasinya, bertambah keras seiring dengan kacaunya pelaksanaan UN tahun ini. Pertanyaan pun dilontarkan, apakah masih ada tempat untuk UN? Tulisan ini memberikan argumentasi tentang perlunya UN dipertahankan, tetapi dengan perubahan mendasar.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengisyaratkan tiga paradigma baru pendidikan, yaitu orientasi pada kompetensi, berbasiskan standar, dan desentralisasi pengelolaan. Ada sejumlah hal yang perlu kita perhatikan dalam undang-undang tersebut. Pertama, kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan pada tingkat satuan pendidikan. Kedua, pengembangan kurikulum tersebut harus mengacu kepada standar pendidikan nasional. Ketiga, pengelolaan satuan pendidikan dilaksanakan dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.
Pengelolaan yang terdesentralisasi itu memberikan kewenangan yang besar kepada satuan pendidikan untuk menjalankan proses pendidikan. Perancangan program pendidikan yang mengacu kepada standar nasional tidak sertamerta membuat program tersebut berhasil. Bagaimana kita menilai keberhasilan satuan pendidikan?
Orientasi pada kompetensi membawa implikasi bahwa capaian pendidikan harus dilihat dan dinilai pada siswa. Dengan bahasa kompetensi, kita merencanakan apa yang akan diperoleh dan dicapai siswa sesudah belajar dalam masa tertentu. Basis standar berarti capaian dan perolehan siswa harus memenuhi standar tertentu. Berdasarkan UU Sisdiknas, standar tersebut ditetapkan secara nasional. Program pendidikan kita katakan berhasil baik ketika siswa memang memperoleh dan mencapai apa yang direncanakan itu. Keberhasilan tidak dinilai dari apa yang dilakukan sekolah dan guru.
Dalam konteks itulah suatu ujian bagi siswa perlu diadakan secara nasional. Melalui ujian tersebut, keberhasilan program pendidikan dinilai dalam membuat siswa mencapai kompetensi yang ditetapkan dalam standar nasional. Dengan demikian, sasaran evaluasi utama pada ujian nasional itu adalah sekolah, bukan siswa.
Penetapan sasaran evaluasi tersebut sesuai dengan sebuah model yang dirumuskan David Warren Piper untuk mengidentiļ¬ kasi isu-isu kunci dalam manajemen pendidikan (lihat Piper, Quality Management in Universities, Vol 1, 1993). Sekalipun Piper memperkenalkan modelnya dalam konteks perguruan tinggi, model tersebut dapat diadaptasi ke dalam konteks pendidikan dasar dan menengah.

Intervensi Eksternal
Dalam modelnya, Piper menyatakan ada tiga pihak yang terlibat dalam program pendidikan, yaitu siswa (atau mahasiswa), guru (atau dosen), dan institusi pendidikan. Untuk dapat belajar dengan efektif, siswa memerlukan tiga hal: kemampuan belajar, kesempatan belajar, dan insentif untuk belajar. Adalah tugas guru untuk meningkatkan ketiga hal tersebut: pengajaran menjadi efektif ketika guru dapat meningkatkan kemampuan, kesempatan, dan insentif belajar pada siswanya. Pada gilirannya, guru memerlukan tiga hal yang sama: kemampuan mengajar, kesempatan mengajar, dan insentif untuk mengajar. Adalah tugas institusi untuk meningkatkan ketiga hal tersebut pada guru-gurunya.
Dengan model Piper itu, intervensi eksternal ditujukan paling jauh kepada guru, tidak kepada siswa. Tidak ada intervensi eksternal yang diberikan agar siswa belajar lebih keras. Tugas gurulah untuk mendorong siswa belajar lebih keras, yaitu dengan meningkatkan insentif untuk belajar.
Ujian nasional dapat menjadi instrumen penting intervensi eksternal kepada guru dan sekolah. Intervensi itu ditujukan untuk membangun pemahaman guru dan sekolah terhadap standar-standar nasional. Dalam hal ini, sangat penting bagi guru dan sekolah untuk memiliki kemampuan melakukan assessment terhadap siswa sesuai dengan standar-standar itu.
Dengan menggunakan ujian nasional, pemetaan terhadap sekolah dapat dilakukan. Dasar pemetaan ialah kemampuan sekolah dan guru-gurunya dalam melakukan assessment terhadap siswa-siswanya berlandaskan pemahaman mereka akan standar. Salah satu cara yang dapat dilakukan ialah dengan meminta guru dan sekolah memberikan penilaian terhadap siswa-siswa mereka dan melaporkannya sebelum ujian nasional diselenggarakan. Kesenjangan (gap) antara penilaian sekolah dan nilai ujian nasional memberikan peta kemampuan sekolah dalam melakukan assessment.
Nilai individu siswa dapat diberikan kepada sekolah sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk mengambil tindakan terhadap siswa yang bersangkutan. Tindakan dimaksud dapat berupa penyaringan (seperti kelulusan) atau tindakan remedial. Sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah, sekolah diberi kebebasan untuk menggunakan nilai individu tersebut. Berkaitan dengan kelulusan, sekolah boleh menggunakan sepenuhnya nilai individu tersebut atau sebaliknya, mengabaikannya sama sekali.
Perlakuan tersebut akan menghindarkan ujian nasional dari risiko tinggi (high-stake) bagi pesertanya. Sifat berisiko tinggi pada uji an skala besar, termasuk ujian masuk perguruan tinggi, telah membawa banyak masalah yang pada akhirnya malah merugikan tujuan perbaikan mutu pendidikan. Selain masalah integritas pihak-pihak yang terlibat, masalah besar lain ialah pengajaran semata-mata untuk ujian (teaching to the test).

Membantu Menjawab
Manfaat maksimal dari ujian nasional akan diperoleh kalau yang dihasilkannya bukan data semata. Sebuah lokakarya yang diadakan Dewan Riset Nasional di Amerika Serikat mengingatkan, `... sistem assessment ... juga harus dirancang agar informasi yang dihasilkannya dapat digunakan untuk meningkatkan baik sistem pendidikan maupun proses pembelajaran' (NRC, Assessment in Support of Instruction and Learning: Bridging the Gap Between Large-Scale and Classroom Assessment, 2003).
Hasil ujian nasional hendaknya dapat membantu menjawab setidaknya sejumlah pertanyaan berikut.
Ketika ada banyak siswa memperoleh nilai rendah, perubahan apa dalam pengajaran yang perlu dilakukan seorang guru? Pada tingkat sekolah, apa yang harus kepala sekolah sarankan dan perintahkan kepada guru-gurunya? Fasilitas tambahan apa yang diperlukan sekolah agar nilai-nilai siswanya membaik? Selanjutnya, kepala dinas pendidikan sepatutnya mengajukan pertanyaan serupa. Kalau ia memutuskan untuk memberikan pelatihan kepada guru, pelatihan seperti apa yang harus ia kembangkan?
Bahkan, Kemendikbud seharusnya juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Mungkin dana akan dikucurkan kepada daerah yang hasil ujian nasionalnya rendah. Kegiatan apa saja yang tepat untuk didanai? Mungkin pelatihan guru akan dilakukan. Apakah cukup satu jenis pelatihan yang disediakan untuk seluruh Indonesia?
Agar dapat berperan instrumental seperti itu, ujian nasional perlu dirancang dengan benar. Nilai ujian nasional seharusnya mempunyai makna. Siswa peraih nilai 6 memiliki kemampuan atau kompetensi berbeda dengan siswa peraih nilai 9, misalnya. Capaian kompetensi untuk (rentang) nilai-nilai tersebut harus dapat dideskripsikan.
Langkah pertama untuk mendeskripsikan kaitan antara nilai dan kompetensi ialah dengan menyusun suatu kerangka kerja assessment (assessment framework). Dalam kerangka kerja itu, kompetensi yang akan diukur memperoleh elaborasi sebagai dasar penyusunan dan penetapan soal dan penilaian (marking). Bagi sekolah dan guru, kerangka kerja merupakan dasar dalam mempersiapkan siswa.
Perubahan-perubahan mendasar dalam memosisikan ujian nasional sebagaimana diuraikan perlu dilakukan terlebih dahulu. Hal-hal lebih teknis seperti cakupan (mata pelajaran apa saja), lingkup (seluruh populasi atau sampel saja), waktu (tahun terakhir jenjang atau sebelumnya), dan frekuensi (apakah setiap tahun) dapat ditetapkan belakangan.
[ Benarkah pendidikan nasional? ]

Sembari melipat sajadah seusai sholat isya, tiba-tiba pikiran saya terusik oleh cuplikan memory bedah buku sabtu sore kemarin.

Ya, memang bedah buku sore hari itu sangat sederhana, hanya digelar dalam sebuah ruangan seukuran ruang kelas kuliah yang disulap menjadi tempat diskusi panelis, bertemankan ac split dan sound system ala kadarnya.

Namun, hal yang menjadi istimewa adalah personil yang melengkapi sesi santai sore itu dan tentunya segelas kopi, menggambarkan judul buku yang kita diskusikan sore itu, "Sang Guru dan Secangkir Kopi" buah pikiran Andi Achdian yang juga ikut nimbrung sore itu.

Pengusik pikiran saya malam ini adalah closing statemen yang disampaikan bu Itje (sebagai moderator) tentang kotak-kotak, batasan, kasta, golongan dan klasifikasi sekolah di Indonesia.

Beliau menyampaikan dengan santai, walau saat itu terasa sekali aura keseriusan, keprihatinan, ketidakpuasan tentang statemen sekolah unggulan, sekolah favorit, sekolah idola yang tumbuhkembang di tengah-tengah kamus kehidupan masyarakat berpendidikan.

Saya masih ingat betul, dikala beliau dengan lugas memaparkan tentang fenomena dan dampak klasifikasi sekolah tersebut, saat itu juga hati dan pikiran saya sepakat meng-'iya'-kan paparan bu Itje. Di saat itu juga, pikiran saya melenggang jauh kepada anak-anak didik saya, dimana mereka sekolah di instansi khusus yatim piatu dan dhuafa, yang seharusnya juga menjadi tanggungjawab aparatur negara.

Kegelisahan ini semakin menjadi, ketika melihat fakta di masyarakat, masih banyak yang menomorsekiankan perlu dan pentingnya pendidikan. Andaipun cita-cita luhur pendahulu kita ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tercetak rapi dalam etalase Pembukaan UUD 1945, mengapa hingga kini yang terjadi malah kemerosotan nilai-nilai luhur yang telah diperjuangkan sejak hampir satu abad silam.

Layakkah pendidikan bangsa kita saat ini disebut "Pendidikan Nasional"? Kalau masih sering kita dapati jurang pemisah antara sekolah negeri dan swasta.

Layakkah pendidikan bangsa kita saat ini disebut "Education for All" seperti kutipan sambutan Kemdiknas 2 Mei kemarin? Kalau masih banyak kita jumpai fakta di masyarakat tentang kasta sekolah, sehingga anak-anak didik yang seharusnya punya hak yang sama, menjadi tersisihkan dan merasa berbeda hanya karena soal tradisi maupun (mohon maaf) urusan finansial.

Ah, ini hanya usikan pikiran, yang penting saat ini adalah bagaimana kita bisa mulai melangkah selaras untuk menata kembali puzzle misteri pendidikan Indonesia, demi terwujudnya generasi intan Indonesia.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh mengakui pemblokiran anggaran oleh Kementerian Keuangan turut menjadi sebab keterlambatan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tingkat sekolah menengah atas. Meski demikian, hal tersebut bukan faktor utama dan satu-satunya sehingga para siswa di 11 provinsi tidak dapat menjalani UN secara serentak.

"Saya tidak mau memasukan faktor itu sehingga menambah kompleksitas masalah. Meskipun ada efeknya, tapi bukan menjadi satu-satunya penyebab," kata Nuh saat ditemui di sela-sela Kunjungan Kerja Wakil Presiden di Kalimantan Tengah, Jumat, 19 April 2013.

Menurut Nuh, anggaran UN sudah dicairkan Kementerian Keuangan setelah ada klarifikasi mengenai perbedaan jumlah siswa antara kementerian dan Dewan Perwakilan Rakyat. Pencairan pada 13 Maret 2013 juga tidak dapat secara langsung menyebabkan keterlambatan proses pengerjaan naskah soal karena tender telah dimulai sejak Januari 2013.

Selain itu, jika pemblokiran menjadi penyebab utama maka lima perusahaan pemenang tender selain PT Ghalia Indonesia Printing seharusnya juga tidak dapat menyelesaikan pencetakan naskah. Penundaan ujian di 11 provinsi secara jelas karena keterlambatan pengerjaan dan distribusi naskah soal. "Ini musibah, semua tidak ingin ada kejadian seperti ini," kata Nuh.

Pemblokiran anggaran mulai menjadi alasan keterlambatan UN serentak ketika Badan Standar Nasional Pendidikan mengeluhkan molornya proses tersebut. BSNP sebagai penanggung jawab pelaksanaan UN mengklaim kesulitan melaksanakan proses termasuk sosialisasi karena tidak ada dana.

Anggaran UN ini menjadi bagian dari 84,9 persen Pagu Anggaran Kemendikbud yang diblokir Kementerian Keuangan yaitu Rp 62,07 triliun. "Dicairkan pada 13 Maret dan 15 Maret dilakukan kontrak kerja," kata Nuh. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar